Tujuh tahun yang lalu tepatnya
ketika harus memutuskan jalan cita-cita apa yang akan saya tempuh, dan
pilihanpun jatuh pada pilihan menjadi seorang Guru. Banyak sosok inspratif yang
hinggap di kepala saya waktu itu, mulai dari Ibu Nurwahidah, Ibu Rahmatiah, Ibu
Darna Damis, Pak Rasyid, Pak Abduh, hingga Ibunda saya sendiri. Yah saya harus
menjadi seorang guru. Waktu berlalu dan membawa saya di titik ini, tepat di
cita-cita saya. Saya seorang guru sekarang, yang hingga saat ini masih
berstatus honorer dan mengabdi pada salah satu sekolah umum sekaligus almamater
kebanggaan, SMPN 1 Maros.
Dulu selalu saya membayangkan
bagaimana kira-kira diri saya ketika berdiri di depan siswa-siswa?, bagaimana
penampilan saya?, apa yang saya ajarkan?, bagaimana pendapat mereka akan
kehadiran diri saya?, pentingkah diri saya bagi mereka?, atau sukakah mereka
pada saya? Beberapa tahunpun berlalu dan tepat pada semester V, saya
mendapatkan kesempatan untuk mengajar pertama kalinya. Waktu itu hanya ada dua
kelas saja dan awalnya sangat menyenangkan. Kelas saya hangat, siswa saya
sangat senang ketika memasuki mata pelajaran saya, hingga beberapa bulan
berlalu tepat dipertengahan tahun ajararan saya ‘shock’. Tak ada yang pernah
bilang kalau mengajar itu punya nilai pressure yang kuat, ada tekanan
psikologis disana ketika ego muda saya yang meluap-luap bertemu dengan
kekanak-kanakan siswa saya. Saya mungkin cengeng, sering menagis karena
ulah siswa saya. Hingga saya tersadar, apakan saya ini memang pantas menjadi
seorang guru?. Sempat saya break selama seminggu, tak masuk mengajar dan
menghindari sekolah. Ibunda saya yang kemudian marah melihat calon guru
kekanak-kanakan macam saya ini. Saya merenung dan memikirkan apa yang salah
dari saya, materi bukan masalah, disiplin-pun begitu. Yah yang salah adalah
cara saya memperlakukan mereka begitu juga cara saya menyukai mereka. Saya
menempatkan mereka sebagai “my derest brothers and sisters” yang seharusnya
mereka adalah “students”. Saya-pun terlena oleh kecerdasan mereka, hingga saya
memuja yang memiliki nilai akademik yang baik dan mengabaikan yang rendah, ini
kesalahan fatal saya. Saya harus kembali ke sekolah untuk memperbaiki reputasi
saya dan tentu memperbaiki kesalahan bodoh ini. Waktunya-pun tiba, agak cemas
saya dibuatnya tapi ít’s OK-lah. Saya masuk dan meminta maaf,
merendahkan kepala saya dan berikrar jauh dalam hati “tak akan seperti ini
lagi”.
Pilu ini adalah cambuk yang
senatiasa memacu saya untuk menjadi sosok guru sekaligus pendidik yang baik
walaupun tak sepenuhnya saya lebih baik. Saya percaya bahwa profesi inilah yang
telah mendewasakan saya dan mungkin ratusan sosok guru di luar sana. Ketika
saya merasa lelah disana terdapat senyum-senyum gairah belajar tinggi mereka
yang kadang menjadi penawar dan selalu meminta saya untuk hadir membawa
segenggam ilmu untuk mereka. Hingga saya mengerti arti diri saya pada mereka.
Terima kasih siswa-siswaku, kalian adalah hari esok yang cerah. :)
A real man says sorry and changes, -Nurfitrini Ramadhani