Selasa, 17 Juli 2012

Mengajar + Mendidik = GURU

Tujuh tahun yang lalu tepatnya ketika harus memutuskan jalan cita-cita apa yang akan saya tempuh, dan pilihanpun jatuh pada pilihan menjadi seorang Guru. Banyak sosok inspratif yang hinggap di kepala saya waktu itu, mulai dari Ibu Nurwahidah, Ibu Rahmatiah, Ibu Darna Damis, Pak Rasyid, Pak Abduh, hingga Ibunda saya sendiri. Yah saya harus menjadi seorang guru. Waktu berlalu dan membawa saya di titik ini, tepat di cita-cita saya. Saya seorang guru sekarang, yang hingga saat ini masih berstatus honorer dan mengabdi pada salah satu sekolah umum sekaligus almamater kebanggaan, SMPN 1 Maros.
Dulu selalu saya membayangkan bagaimana kira-kira diri saya ketika berdiri di depan siswa-siswa?, bagaimana penampilan saya?, apa yang saya ajarkan?, bagaimana pendapat mereka akan kehadiran diri saya?, pentingkah diri saya bagi mereka?, atau sukakah mereka pada saya? Beberapa tahunpun berlalu dan tepat pada semester V, saya mendapatkan kesempatan untuk mengajar pertama kalinya. Waktu itu hanya ada dua kelas saja dan awalnya sangat menyenangkan. Kelas saya hangat, siswa saya sangat senang ketika memasuki mata pelajaran saya, hingga beberapa bulan berlalu tepat dipertengahan tahun ajararan saya ‘shock’. Tak ada yang pernah bilang kalau mengajar itu punya nilai pressure yang kuat, ada tekanan psikologis disana ketika  ego muda saya yang meluap-luap bertemu dengan kekanak-kanakan siswa saya. Saya mungkin cengeng, sering menagis karena ulah siswa saya. Hingga saya tersadar, apakan saya ini memang pantas menjadi seorang guru?. Sempat saya break selama seminggu, tak masuk mengajar dan menghindari sekolah. Ibunda saya yang kemudian marah melihat calon guru kekanak-kanakan macam saya ini. Saya merenung dan memikirkan apa yang salah dari saya, materi bukan masalah, disiplin-pun begitu. Yah yang salah adalah cara saya memperlakukan mereka begitu juga cara saya menyukai mereka. Saya menempatkan mereka sebagai “my derest brothers and sisters” yang seharusnya mereka adalah “students”. Saya-pun terlena oleh kecerdasan mereka, hingga saya memuja yang memiliki nilai akademik yang baik dan mengabaikan yang rendah, ini kesalahan fatal saya. Saya harus kembali ke sekolah untuk memperbaiki reputasi saya dan tentu memperbaiki kesalahan bodoh ini. Waktunya-pun tiba, agak cemas saya dibuatnya tapi ít’s OK-lah. Saya masuk dan meminta maaf, merendahkan kepala saya dan berikrar jauh dalam hati “tak akan seperti ini lagi”.
 Mereka saat ini adalah siswa saya, mereka juga berhak mendapatkan keadilan di dalam ataupun di luar kelas dan sayalah yang harus bertransformasi, menjadi guru, teman kakak ataupun ibu dan menjadi sosok pendidik. Perlu disadari secara mendalam bahwa seorang guru selalu tercermin dari kata dan perbuatannya bertugas bukan hanya mengajar di depan kelas, memberi tugas atau tersenyum setiap bertemu dengan siswanya. Lebih mendalam, seorang guru adalah manusia  yang dianugerahi kompetensi pedagogik, personal, sosial, dan profesional yang menyadari bahwa tanggung jawabnya adalah mendorong siswanya ke arah yang lebih positif, menyadarkan mereka bahwa mereka adalah manusia berarti, dan memanusiakan proses pendidikan itu sendiri. Mengajar dan medidik adalah pasangan tanggung jawab yang tak terpisahkan dan saling membutuhkan dalam penerapannya.
Pilu ini adalah cambuk yang senatiasa memacu saya untuk menjadi sosok guru sekaligus pendidik yang baik walaupun tak sepenuhnya saya lebih baik. Saya percaya bahwa profesi inilah yang telah mendewasakan saya dan mungkin ratusan sosok guru di luar sana. Ketika saya merasa lelah disana terdapat senyum-senyum gairah belajar tinggi mereka yang kadang menjadi penawar dan selalu meminta saya untuk hadir membawa segenggam ilmu untuk mereka. Hingga saya mengerti arti diri saya pada mereka. Terima kasih siswa-siswaku, kalian adalah hari esok yang cerah. :)            

A real man says sorry and changes, -Nurfitrini Ramadhani